Sabtu, 15 September 2007
Cinta dilihat dari ilmuan
PADA tahun 1932 Albert Einstein menulis
Sebagai ahli ilmu jiwa, Freud menjelaskan dalam
***POKOK pikiran semacam itu dapat dilihat dalam praktek sehari- hari kita. Orangtua yang mengatakan dirinya amat mencintai anak- anaknya, seringkali berubah menjadi diktator orangtua terhadap anak. Orangtua ingin ''membentuk'' anak menurut kemauannya sendiri. Anak harus menjadi dokter agar hidupnya kelak kecukupan dan bahagia, meskipun si anak ngotot mau masuk fakultas sastra. Kebahagiaan siapakah yang ingin diwujudkan? Kebahagiaan orangtua atau kebahagiaan anak?
Dalam koran diberitakan, ada seorang lelaki yang telah beristri mencintai seorang gadis. Dan cintanya terbalas. Tetapi ketika mengetahui si gadis menjalin hubungan cinta dengan lelaki lain yang masih lajang, berkobarlah rasa bencinya dan tega membunuh si gadis. Insting cintanya telah berubah menjadi insting merusak dan membenci, karena lelaki beristri tadi ingin memiliki si gadis bagi kesenangannya sendiri.
Ajaran-ajaran moral terbesar dalam sejarah umat manusia selalu menekankan adanya kasih sayang, cinta, antara sesama manusia. Cintailah orang lain seperti saudaramu, meskipun ia lain ras, lain kelas sosial, lain bangsa, lain agama, lain usia. Cinta menyatukan, mendamaikan, membahagiakan, menyenangkan. Kebencian melahirkan konflik, kekerasan, perusakan, kebinasaan umat manusia. Cinta itu Hidup, Benci itu Mati.
*** SEPERTI dikatakan Freud, naluri cinta itu berubah menjadi benci kalau disertai nafsu memiliki, yaitu dijadikan bagian kepentingan dirinya sendiri. Pemikiran ini dikembangkan oleh Erich Fromm dalam bukunya yang terkenal, Memiliki dan Menjadi. Cara hidup ''memiliki'' adalah naluri cinta yang berakhir dengan penderitaan, kerusakan, kebinasaan dan kematian dari yang dicintai. Cara hidup ''menjadi'' inilah hakikat cinta manusia yang sesungguhnya. Kita mencintai seseorang bukan demi kepentingan semata-mata, tetapi demi yang kita cintai agar tumbuh berkembang mencapai kebahagiaannya sendiri.
Dengan menolong orang lain, kita menjadi seorang penolong. Dengan memberi kepada orang lain, kita tumbuh menjai seorang pemberi. Dengan melakukan kebaikan terhadap orang lain, diri kita tumbuh sedikit menjadi ''orang baik''. Nafsu memiliki ini berpusat pada kepentingan diri sendiri. Dengan memiliki kita menguasai dan bebas mempergunakan kepemilikan kita buat ''kebahagiaan'' kita sendiri. Dalam cara mencintai dan cara hidup ini, maka harus ada yang menjadi korban kepemilikan. Anak menjadi korban ambisi orangtua, si gadis menjadi korban nafsu seksualitas lelaki beristri, murid-murid jadi korban perburuan ranking nasional. Siapakah yang sebenarnya ''bahagia?" Kita mencintai anak-anak kita justru karena sadar bahwa mereka adalah manusia dengan karakter dan bercita-cita lain dengan kita orang tua. Kewajiban cinta kita pada mereka adalah membantu mewujudkan apa yang diinginkan.
*** MENCINTAI, menolong, membantu, berbuat baik, kepada orang lain bisa berubah menjadi tindakan diktator dan berakhir dengan jatuhnya korban percintaan, kalau kondisi dan kebutuhan yang kita cintai tidak diperhitungkan. Mencintai orang lain, berbuat baik untuk orang lain, ternyata tidak semudah yang kita duga. Mencintai dan berbuat baik itu bukan sekadar niat dan tindakan, tetapi juga dengan pengenalan, pengetahuan, pengorbanan, strategi terhadap yang kita cintai. Kalau tidak demikian, maka cinta bisa berubah menjadi malapetaka bagi yang kita cintai.
Kalau Anda jatuh cinta, Anda ingin tahu rincian hidup yang Anda cintai (ketika bertemu pertama kali di kereta api). Bagaimana riwayatnya, keluarganya, bintangnya, kesehatannya, cita-citanya. Dan Anda mempergunakan tetek bengek informasi itu untuk menyusun strategi bagaimana lebih jauh menaklukkan hatinya. Kalau kita mencintai orang miskin, orang menderita stres, orang kena musibah, orang bingung, maka kita juga harus berbuat yang sama seperti kalau Anda jatuh cinta.
Surat Einstein kepada Freud memang menyangkut perang dan penderitaan serta kemungkinan lenyapnya spesies bernama manusia akibat perang di muka Bumi ini. Konflik kepentingan, agresi, pemusnahan adalah naluri kebencian manusia. Seperti cinta, manusia juga harus mengenal, memahami dan merasakan akibat kebenciannya terhadap orang lain.
Adalah Dannion Brinkley yang menceritakan pengalaman ''mati'' sampai dua kali dalam bukunya Saved by the Light, mengisahkan bagaimana dirinya merasa rendah dan hina oleh kejahatan-kejahatannya memukuli orang lain semasa hidup. Ia bukan hanya ingat detail perbuatannya, tetapi juga suasana dan perasaan si korban waktu di-aniaya. Dengan mengenal dan merasakan akibat kejahatannya, jiwa Brinkley menilai perbuatannya sendiri yang tidak baik. Mengenal dengan baik penderitaan, kebahagiaan, keinginan, kekuatan dan kelemahan yang kita cintai atau kita benci, kiranya dapat menuntun kita mencintai orang lain lebih ''baik dan benar''.
Mencintai sesama itu tidak mudah. Lebih mudah ditulis dan dianalisis daripada dijalankan. Sebab cinta itu perbuatan nyata. Dan perbuatan itu baru ada kalau ada si pencinta dan yang dicinta. Maka pengetahuan dan pengenalan ketiga unsur cinta itu harus dibenahi.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Bicara soal rahasia hubungan cinta, saya baru saja menulis sebuah e-book terbaru yang akan merevolusi paradigma tentang dinamika sosial pria-wanita Indonesia dalam dunia romansa dan percintaan, berjudul The Secret Law of Attraction (bukan sampah new age seperti yang beredar selama ini), sekaligus kunci otomatis untuk menarik popularitas dan trafik blog Anda.
Download rahasia besar tersebut dalam e-book yang terdapat di http://www.hitmansystem.com/blog/the-secret-law-of-attraction-113.htm
Posting Komentar