Jumat, 24 Desember 2010

First Time..

Asli bingung banget..

Ini pertama kalinya harus meninggalkan Indo..
Yang bikin kepala pusing adalah di sana mau pake provider apa..

Hehehe.. buat internetan sih tepatnya..
Check-in foursquare.. hehe.. ga penting sih..
tapi gimana ya.. pengen.. sekalian buat twitter-an..
Kalo mertahanin pake Xplor curiga bakal kena mahal banget..

Stelah browsing sana sini dan bingung..

Akhirnya memutuskan..
Ya sudahlah pake provider di negara sana aja..
Ntar paling tanya2 di sana..

Masih Asia juga kok..
Cas cis cus ga lancar ya sama2 melayu..

Senin, 20 Desember 2010

Closing Day..

My deepest condolences to Jane Punuh n fam..
May God guide her mother to the light n give strength to d one she left..

17 Desember 2010..

Antara Melengkapi dan Ketergantungan

Banyak orang yang bilang..
Sebuah hubungan yang sempurna adalah hubungan yang saling melengkapi..
Sebuah hubungan yang baik adalah dimana satu sama lain saling menerima..
Sebuah hubungan menjadi indah ketika kamu merasa bahwa kamu dibutuhkan..

Lalu bagaimana dengan ketergantungan..
Ketika salah satu pihak membutuhkan pihak yang lain..
Dan ketika rasa puas bahwa kamu merasa dibutuhkan..
Ketika salah satu pihak merasa dapat menerima kekurangan pihak lain..

Apakah semua itu menjadi ketergantungan..
Apakah semua itu tidak menciptakan ketergantungan..

Disaat semua orang bilang untuk mandiri..
Untuk tidak tergantung dengan siapapun..

Biarlah angin malam ini yang menjawab semuanya..
*cieeee bahasa lu Le.. gaplok diri sendiri sana!!*

Minggu, 05 Desember 2010

Catatan untuk Pasangan Beda Agama (PBA)

Postingan ini diambil dari http://liamarpaung.blogspot.com/2010/11/catatan-untuk-pasangan-beda-agama-pba.html
POSTED BY. LIA MARPAUNG

Berikut ini adalah tulisan teman, Ari Perdana, di milis Kawin Campur, yang saya posting disini.

Ari (muslim) yang menikah dengan Julie (katolik) dan telah dikarunia seorang anak perempuan cantik dan lucu bernama Cemara, tidak percaya dengan pendapat yang mengatakan "pernikahan beda agama lebih sulit dipertahankan karena melibatkan agama yang berbeda", atau "beda suku saja sulit, apalagi beda agama."

Pernikahan adalah penyatuan dua individu, yang memiliki karakter berbeda, jadi sudah tentu pastinya diperlukan penyesuaian. Dan dua individu yang menyatu dalam jalinan pernikahan juga memiliki latar belakang berbeda, baik itu suku, pendidikan, culture keluarga, kebiasaan, termasuk agama. Tidak ada teori/best practice, semua hubungan, semua pernikahan adalah unik. Semua bisa sama sulitnya. Tinggal bagaimana ke-dua individu yang mau berjanji sehidup-semati menjaga komitmennya, punya tujuan besar, untuk mengalahkan semua perbedaan.

**********

Di milis kawincampur, pertanyaan paling sering diajukan oleh beberapa teman yang sedang menjalani hubungan dengan pasangan yang berbeda agama, dan tengah memikirkan untuk memasuki jenjang pernikahan, adalah “apa yang harus disiapkan/dilakukan?”

Jawaban atas pertanyaan itu ada dua aspek: soal mental, dan prosedural. Saya akan membagi beberapa hal terkait yang pertama. Intinya, yang terpenting dari semua ini adalah apa yang anda sendiri pikirkan dan rasakan. Jadi, tanyakan beberapa hal berikut ini.

Pertama -- ini standar untuk semua pasangan, bukan hanya yang beda agama. Apakah anda sudah benar-benar yakin, bahwa anda dan pasangan memang punya cita-cita bersama yang ingin dicapai? Bagaimana anda anda di masa depan, dalam 5, 10, 20, 50 tahun lagi bersama dia? Seberapa yakin atau tidak yakin anda atas masa depan yang akan anda lalui bersama?

Kedua -- coba mulai bertanya, apakah anda dan pasangan sudah siap dan sudah bisa menanggalkan semua ego? Okelah, bisa aja kita bilang, tidak ada masalah dengan pernikahan beda agama. Saya akan membiarkan pasangan gue dengan keyakinannya.

Tapi coba tanya lagi ke diri sendiri, apakah kita masih punya harapan atau gambaran ideal akan keluarga yang ke gereja/masjid bareng? Apakah masih ada 'idealisme' bahwa suatu ketika saya akan mengajak pasangan saya ikut agama saya? Apakah masih ada keinginan bahwa anak-anak harus ikut agama kita, dan tidak rela kalau ikut agama pasangan kita. Apakah kita masih menganggap bahwa kalau anak tidak seagama dengan kita maka doanya tidak akan terkabul, dan kita tidak bisa mendoakan keluarga kita?

Kalau masih ada hal-hal spt ini, lebih baik dikaji ulang. Mungkin sekarang, karena masih semangat untuk bersama, ini tidak keliatan. Tapi akan lebih repot kalau hal-hal seperti ini muncul belakangan.

Ketiga -- coba tanya lagi ke diri sendiri, apakah masih merasa berat untuk menjalani pernikahan beda agama karena takut dosa? Intinya begini. Setidaknya dari sisi Islam, ada banyak pandangan tentang pernikahan beda agama. Banyak yang bilang haram. Tapi banyak juga yang bisa memberikan argumen sebaliknya. Saya pribadi menghargai pendapat yang mengatakan itu haram. Tapi saya merasa yakin, dan nyaman, dengan pendapat yang mengatakan sebaliknya. gue merasa itu nggak salah, dan gue bisa menemukan argumen2 yang mendukung pendapat ini.

Tapi kalau sudah mendengar semua pandangan dan masih ada keraguan, masih merasa ada ketakutan untuk ‘berbuat dosa’, lebih baik berpikir ulang.

Keempat -- coba uji diri anda dengan sebuah kondisi hipotetis. Andaikan anda harus memilih antara menyenangkan keluarga atau meraih cita-cita bersama anda dan pasangan. Bisakah anda dengan yakin mengatakan, "I love my family but this is my life..."

Betul, kita tidak ingin konflik dengan keluarga. Kita ingin semua bisa berjalan mulus. Tapi mental exercise ini perlu untuk menguji kita, seberapa kita berani untuk menghadapi semua risiko. Kalau ternyata masih ada keraguan untuk itu, lebih baik berpikir ulang di saat ‘biaya’ untuk berpisah masih belum besar.

Pengalaman pribadi. Saya pernah dalam situasi ini dan mengajukan pertanyaan yang sama pada diri saya sendiri. Dan jawaban saya adalah: saya memilih hidup saya, dan masa depan saya bersama pasangan saya. Saya menyayangi keluarga saya. Dan hati ssaya akan hancur kalau sampai harus musuhan. Tapi saya akan lebih menyesal kalau saya tidak bisa memilih jalan hidup saya sendiri yang saya anggap benar.

Sejujurnya, saya sempat ada di titik dimana saya sudah bersiap-siap untuk jalan sendiri dengan pilihan saya. Secara harafiah, saya sudah menyiapkan kopor untuk angkat kaki. Akhirnya, saya bersyukur kalau opsi itu tidak perlu gue pilih.

Nah, kalau anda sudah ‘lulus ujian’ di atas, barulah kita bisa bicara soal2 yang teknis.

Pertama -- bagaimana pendekatan pada keluarga. Dalam kasus saya dulu, tantangan paling berat adalah ke ibu. Butuh dua tahunan buat saya untuk meyakinkan beliau. Tak terhitung berapa kali terjadi adu argumen adu referensi yang dipakai, bahkan saling membawa ahli agama yang bisa mendukung posisi masing-masing (saya mengajak ibu saya ke pak Zainun Kamal). Sampai akhirnya saya mengindikasikan, kalau memang beliau masih tidak bisa menerima argumen sata, apa boleh buat. Saya akan jalan sendiri.

Nah, ketika akhirnya ibu saya sudah bisa menerima, keluarga besar lain ya tidak punya pilihan lain selain merestui. (kalau tidak nggak, ya lalu mau bagaimana lagi memang?). Kondisi tiap orang pasti beda2. Tapi poin saya adalah, "win your most important supporter in the family."

Kedua – argumen seperti apa yang harus disampaikan. Ada hal2 yang paling sering dilontarkan. Misalnya: "kalo beda agama pasti nggak akan cocok," "nanti anaknya kasian," "kan nggak boleh sama agama," “tidak direstui Tuhan,” dan sebagainya. Ini memang harus dibahas kasus-per-kasus.

Tapi intinya, setiap pernikahan punya potensi masalah. Yang seagama juga punya banyak potensi masalah. Yang satu merasa yang lain kurang taat, atau kelewat taat (jadi suka maksa beribadah). Dan masalah-masalah lain yang tidak ada hubungannya sama keyakinan.

Di sisi lain, pernikahan beda agama nggak harus jadi masalah. Juli, istri saya, selalu menemani bangun sahur, dan kalau pas di rumah, kita berbuka bareng. Saya nggak merasa ada yang kurang dengan kenyataan bahwa ia tidak ikut puasa. Setiap minggu saya mengantar ke gereja. Di sana kalau nggak main dengan si kecil Rara, saya baca buku di luar. Dan kayaknya saya malah lebih hafal jadwal misa dari Juli. Selama ini, itu semua bisa berjalan secara natural.

Saya kenal banyak pasangan lain yang bisa mengarungi pernikahan beda agama relatif tanpa masalah. Sebaliknya, banyak pasangan seagama yang bermasalah, bahkan hingga pisah. Saya tidak punya statistik, tapi saya yakin, % pasangan beda agama yang berpisah lebih kecil dari % pasangan seagama yang berpisah.

Dan saya punya teori untuk itu: kalau kita sudah memutuskan untuk menikah dengan pasangan berbeda agama, kita butuh punya rasa cinta yang jauh lebih besar dari pasangan pada umumnya. Karena untuk bisa mengarungi berbagai tantangan dari keluarga dan lingkungan, kita perlu passion yang jauh jauh lebih besar untuk mengalahkan itu semua. selain itu, kita juga akan berusaha untuk menunjukkan bahwa kita bisa menjalankan ini semua. itu semua akan membuat ego individu lebih kecil. Setidaknya ini yang terjadi antara saya dan Juli, juga beberapa teman yang saya kenal.

Tapi sekali lagi, kita perlu berpikir 100 kali sebelum memutuskan untuk menikah. Kalau kebetulan pasangan kita berbeda agama, kita perlu berpikir 1000 kali. Tapi, sadari juga bahwa banyak PBA yang sukses berumah tangga. Karena kesuksesan sebuah pernikahan, sebenarnya, bukan ditentukan oleh sama atau bedanya agama si pasangan.

Ga Semangat..

Kenapa ya gua ga semangat banget ama ini Proyek..
Awalnya gua pengen tapi ga lama langsung ilang semangatnya..

Apa gara2 tanggungjawab besar yg bakal gua ambil..
Atau kesalahan2 di awal..
Salah nawarin orang..
Salah ngerespon..

Duh..
Rasanya dah males banget..

Senin, 22 November 2010

Cynicism doesn't mean you are smart...

Lagi lagi ketipu ama emosi..
Ama omongan sinis..

Ngapain juga gua ngedengerin org itu ya..
Sial.. Kebawa emosi..

Bodo agh.. Jalanin ajah.. resiko..

Jumat, 19 November 2010

All About Fear - quoted from Deepak Chopra's book: Why God is Laughing?



Fear tells many lies but is always believed
If the worst happens, fear will be greatly relieved
On the day you were born fear poisoned your heart
Fear will still be there on the day you depart.

Fear is a liar.

Fear tells you that you aren't safe.
But you are. Thinking that you aren't safe is an illusion.
If you believe in an illusion, you're buying into a lie.


Fear's main tactic is to make illusion seem real.
But imagined pain isn't the same as real pain.
Imagined death isn't real death.


When you give in to fear, you are either projecting into the future or reliving the past.
Here and now, you are safe.
While fear is trying to convince you that it's real, what's really happening is that you lose touch with the present.


Fear is a terrible predictor of the future.
Nothing is as unrealistic as fear, and yet people rely on it over and over again.

Anytime one of your fears comes true, you give fear the credit for having protected you until that moment.
Which only encourages you to spend your whole life anticipating disaster.


Just because something bad happens doesn't prove that your fear was right.
Fear will never stop trying to convince you.
But when you choose to stop being convinced, you'll be fearless.

Fear pushes you to confuse what you imagine with what's real.

Fear spreads everywhere. It even reaches into situation that have nothing to do with you, and every space it seeps into becomes full of danger.



Enjoy! :)
by Hita Karina Riadika Mastra on Friday, November 12, 2010 at 9:04am

Rabu, 03 November 2010

sedang tidak bersemangat...
pengen di rumah aja..
tidur..
ngebenerin badan yg masih pegel2..

Selasa, 26 Oktober 2010

Lesson Learnt (1)

kemarin kembali mengalami kejadian menyebalkan di kampus..
dari orang yang baru kenal.. yang ga deket..
statusnya hanya teman sekelas.. satu sindikat pun jarang ngumpul.. dan hanya di satu mata kuliah..

dan dia memberikan komentar2 pedas ga penting..

"emang apa specialnya telor ceplok lu"..
"paling iPad buatan China"..


gua bener2 keselllll...
rasanya pengen cerita ke orang2..
pengen langsung ambil sikap.. menjauhi..

tapi setelah sampe rumah..
gua kembali mikir..
tu orang itu beda angkatan..
gua sangka selama ini hanya org2 di angkatan gua ajah yg unik2..
ternyata di angkatan lain juga iya..

dan setelah dipikir lagih..
ternyata..
gua pun mungkin akan menghadapi orang2 seperti itu di tempat gawe..

damn...
ternyata selama ini salah gua..
salah gua buat menyikapi semuanya..
terlalu negatif..

gua selalu berusaha tidak menjadi "blamer"..
tapi yg terjadi adalah sebaliknya..
gua menyalahkan teman2 gua, orang2 unik di angkatan gua, atas ketidak nyamanan yang gua rasain skrg..

damn..
gua selalu sebel dengan sikap si A yang nge'judge' mulu..
gua selalu sebel dengan sikap si B yang sok keminter..
gua selalu sebel dengan sikap si C yang bla bla bla.. dst..

trus mau sampe kapan gua sebel terus..
setiap orang emang ga ada yg sempurna..
dan gua yang gagal menyikapi sikap semua org itu..
apa yang gua pikir itu mereka.. ternyata gua juga seperti itu..

arghhh... damn (lagi)..

gua yg dengan cepat nge'judge mereka..
gua yg dengan cepat langsung menggunakan persepsi buta gua untuk ngambil sikap..

gua ga coba untuk ngeliat lebih jauh..

ternyata...
semua itu salah gua..

Terimakasih Tuhan masih sempat mengingatkan aku sebelum semuanya terlambat..

Berjanji pada diri sendiri untuk berhenti mengeluh..
dan mencoba lebih melihat dan mendengarkan..
menelaah secara menyeluruh..
tidak menyerah pada kesimpulan sementara dari yang hanya terlihat atau dirasa saja..

Pasti susah.. tapi gua yakin harus bisa..
Ini salah satu cara pendewasaan gua..
Mungkin terlambat..
Tapi lebih baik terlambat deh..
daripada ngak sama sekali..

Minggu, 24 Oktober 2010

Peri Cintaku by Marcell Siahaan

Di dalam hati ini, hanya satu nama
Yang ada di tulus hati ku ingini, kesetiaan yang indah
Takkan tertandingi, hanyalah dirimu satu peri cintaku

Benteng begitu tinggi, sulit untuk ku gapai
Huuuuu....

Aku untuk kamu, kamu untuk aku
Namun semua apa mungkin, iman kita yang berbeda
Tuhan memang satu, kita yang tak sama
Haruskah aku lantas pergi meski cinta takkan bisa pergi

Benteng begitu tinggi, sulit untuk ku gapai
Huuuuu....

Aku untuk kamu, kamu untuk aku
Namun semua apa mungkin, iman kita yang berbeda
Tuhan memang satu, kita yang tak sama
Haruskah aku lantas pergi, meski cinta takkan bisa pergi

Bukankah cinta anugerah
Berikan aku kesempatan
Tuk menjaganya sepenuh jiwa oooh

(aku untuk kamu, kamu untuk aku namun semua apa mungkin iman kita yang berbeda)

Tuhan memang satu, kita yang tak sama
Haruskah aku lantas pergi meski cinta takkan bisa pergi

(aku untuk kamu, kamu untuk aku namun semua apa mungkin iman kita yang berbeda)

Tuhan memang satu, kita yang tak sama
Haruskah aku lantas pergi, meski cinta takkan bisa pergi


picture from http://photo.net/photodb/photo?photo_id=6183063

Harus bisa..

Mencoba untuk positif..
walau sulit..

Mencoba menahan emosi..
walau sulit..

Mencoba melupakan segala konflik..
Dan menggantinya dengan memori kegembiraan..
walau sulit...


Tapi harus bisa agh..
Krn kalo di tempat kerja.. pasti byk juga orang2 yang seperti itu..
Bahkan mungkin lebih parah..

Kamis, 21 Oktober 2010

banci tampil in action.. PRET!!

Jangan berharap terlalu tinggi lah..
ga usah di omongin rame2.. toh lu jalannya juga sendiri..

jurig!!

bullshitt...

susah ngadepin banci2 tampil..


PRETTTTT!!!

Kamis, 07 Oktober 2010

New Operating System

Dear Tech Support:
Last year I upgraded from Girlfriend 7.0 to Wife 1.0. I soon noticed that the new program began unexpected child processing that took up a lot of space and resources. In addition, Wife 1.0 installed itself into all other programs and now monitors all other system activity. Applications such as Poker Night 10.3, Football 5.0, HuntingAndFishing 7.5, and Racing 3.6. I can't seem to keep Wife 1.0 in the background while attempting to run my favorite applications. I'm thinking about going back to Girlfriend 7.0, but the uninstall doesn't work on Wife 1.0. Please help!

Thanks ...
Troubled User-------

REPLY:

Dear Troubled User:This is a very common problem. Many people upgrade from Girlfriend 7.0 to Wife 1.0, thinking that it is just a Utilities and Entertainment program. Wife 1.0 is an OPERATING SYSTEM and is designed by its Creator to run EVERYTHING!!! It is also impossible to delete Wife 1.0 and to return to Girlfriend 7.0. It is impossible to uninstall, or purge the program files from the system once installed. You cannot go back to Girlfriend 7.0 because Wife 1.0 is designed not to allow this. Look in your Wife 1.0 manual under Warnings-Alimony-Child Support. I recommend that you keep Wife 1.0 installed and work on improving the configuration. I suggest installing the background application YesDear 99.0 to alleviate software augmentation.

The best course of action is to enter the command C:\APOLOGIZE because ultimately you will have to do this before the system will return to normal anyway.

Wife 1.0 is a great program, but it tends to be very high maintenance. Wife 1.0 comes with several support programs, such as CleanAndSweep 3.0, CookIt 1.5 and DoBills 4.2. However, be very careful how you use these programs. Improper use will cause the system to launch the program NagNag 9.5. Once this happens, the only way to improve the performance of Wife 1.0 is to purchase additional software. I recommend Flowers 2.1 and Diamonds 5.0, but beware because sometimes these applications can be expensive.

WARNING!!! DO NOT, under any circumstances, install SecretaryWithShortSkirt 3.3. This application is not supported by Wife 1.0 and will cause irreversible damage to the operating system.

WARNING!!! Attempting to install NewGirlFriend 8.8 along with Wife 1.0 will crash the system.

(see Wife 1.0 manual, Apologize, High Maintenance & Secretary with Short Skirt)

by Ken Ratri Iswari on Monday, October 4, 2010 at 11:35pm
http://www.facebook.com/notes/ken-ratri-iswari/new-operating-system/443246393489

Selasa, 05 Oktober 2010

Lesson Learnt

makan siang kemaren dan acara sindikatan di sore hari kemarin ternyata membawa pelajaran berharga..

ternyata selama ini gw kurang bisa membedakan saat2 bercanda dan pada saat serius..

kemaren..
gw ketawa mulu pas makan siang dan tiba2 gw merasa nyaman.. tapi pas ngerjain tugas.. gw kurang nyaman dengan cara kerjanya..

ternyata nyaman ketika seneng2 emang beda ama nyaman pas waktu kerja.. mungkin memang ada org yg nyaman diajak kerja tapi kurang nyaman (menyenangkan) kalo diajak seneng2..

dan ternyata lagi gw kadang terjebak di dlmnya..

ya lumayan lah.. dengan lingkungan baru ini, gw byk dpt pelajaran..

Minggu, 03 Oktober 2010

Cape!!

Emang salah gua.. harusnya ngerjain sendiri..

Ternyata semuanya emang hrs sendiri.. ga bisa ngandelin org..

Kalo dah gini mikirnya jadi langsung kemana2..
Mikirin ke depannya gimana..
Yang kaya gini ajah susah banget..
Cape rasanya...

Kaya udh ga tahan lagih..

Minggu, 19 September 2010

8 things a great guy would do

1. make you smile when you're down.
2. gives you a goodbye kiss even when your friends are watching.
3. holds your hands in a perfect time.
4. be funny but knows when to be serious.
5. reacts so cutely when you hit him though it actually hurts.
6. stares at you when he thinks you don't notice.
7. gets a little jealous sometimes but know he's the one you love.
8. waits for an hour just to spend a minute with you

sumber: http://missukissu.blogspot.com/2010/03/8-things-great-guy-would-do.html

Minggu, 08 Agustus 2010

ternyata ga bisa..

bener kan.. ga bisa disiplin buat menulis lagi.. hahaha

dan besok sudah kembali mulai kuliah lagih.. dan blog ini pun akan kembali terlupakan..

Rabu, 04 Agustus 2010

Seorang pria yang..

Harusnya ini diposting tgl 12 Agustus 2010.. tapi drpd forget.. hehehe..

12 Agustus 2008..
Seorang pria kembali hadir dalam kehidupan gua..

Hari ini genap 2 tahun sudah perjalanan ini..

Seorang pria yang sebenarnya adalah kawan lama yang tidak terlalu gua perhatikan..
Seorang pria yang sengaja mau datang malam-malam, ketika gua panik bikin ppt utk sidang besok pagi..
Seorang pria yang terpisah beda kota karena pekerjaan.. dan kami tetap hanya berteman..
Seorang pria yang akhirnya kembali ke kota kembang ini dan menjadi rekan kerja..
Seorang pria yang menjadi tempat curhat tentang pacar..
Seorang pria yang menelpon di malam minggu nanya tempat asik buat dinner, ketika kecengannya datang ke bandung..

Seorang pria yang akhirnya menjadi tambatan hati sampe detik ini..




Mencoba menulis kembali..

Membaca tulisan seorang sahabat disertai alasan mengapa mengikuti 30 hari menulis, ngebuat gua jadi inget kembali sama blog usang ini...

Emang bener sih..
Blog ini biasanya terisi pada saat gua lagih gundah gulana..
Atau pada saat gua lagih nganggur berat...

Apakah gua cukup kuat untuk mengikuti 30 hari menulis ini..

Mari kita coba dari hari ini..

Selasa, 19 Januari 2010

Hanya dengan membuang sampah pada tempatnya..

Sore hari di salah satu perempatan di kota Bandung..
Lampu Merah menyala..
Semua mobil berhenti..

Tepat di depan mobil gua, berhenti sebuah mobil sedan..
Di kaca belakang mobil itu terdapat sticker bertuliskan "Aku Cinta Indonesia"..
Di bagian bagasinya ada sticker bendera Indonesia.. Merah & Putih..
Sang pengendara mobil yang sendirian, terlihat dari kaca belakang..
Seorang pria dengan polo-shirt & kacamata hitam.. usianya pasti belum 30-an..

Terbesit pemikiran.. "Wah.. orgnya pasti nasionalisme-nya tinggi nih.."

Tiba-tiba.. dia membuka jendelanya..
dan membuang sampah ke jalan..
sebuah kantong plastik hitam..
mungkin di dalamnya sisa makanan atau entah apa..

Selang beberapa detik, seorang pedagang rokok lewat..
melihat kantong plastik hitam itu..
sang pedagang memungutnya, lalu berjalan ke pinggir jalan..
dan membuangnya ke tempat sampah..
lalu kembali meneruskan menawarkan dagangannya ke supir angkot di dekatnya..

Dan gua kembali berpikir..
Ternyata dugaan gua salah..

Pengendara mobil itu tidak cukup nasionalis dibandingkan dengan pedagang rokok tersebut..
Dengan semua identitas yang ditempelkan di mobilnya.. yang menunjukkan betapa Indonesianya dia..
ternyata itu semua hanya slogan saja..

Pedagang rokok yang tidak menunjukkan apapun..
Tanpa sticker merah putih di kotak dagangannya..
Tanpa gambar merah putih di jaket usangnya..
Tapi dia mencintai Indonesia..
Hanya dengan membuang sampah pada tempatnya..
Menjaga kebersihan tanah airnya..

Ironi memang.. sebuah perbuatan kecil tapi menunjukkan sesuatu yg besar..

Ya ini mungkin berhubungan dengan yang orang sering bilang..
Kami butuh bukti.. bukan kata-kata..

Hmm..

Minggu, 10 Januari 2010

Sekilas pemikiran di malam hari..

Berawal dari omongan seseorang.. yg mungkin tanpa maksud tapi cukup mengena.. mungkin juga dia hanya bermaksud memuji.. tapi artinya berbeda buat gua..

Jadi teringat seorang kurir yang pernah bercerita ke gua.. "disini mah Bu.. jangan sampe ketauan bisa ini itu.. jadinya dikerjain terus.."

Mungkin ada positif dan juga ada negatifnya..
negatifnya adalah.. tiba2 kerjaan dia yang hanya seorang kurir bertambah.. begitu pula tanggung jawabnya..
positifnya adalah.. semakin banyak dia disuruh2.. sebenarnya dia semakin pintar.. semakin banyak pengalaman..

Diluar itu semua.. (agak2 ga nyambung sih).. jadi kepikiran mengenai masalah kemampuan.. seseorang yg perkataannya cukup mengena tadi sore.. seakan akan mengesankan kalo kemampuan gua kurang..

Setelah gua merenung sedikit.. kayanya mungkin lebih baik gua sedikit saja memperlihatkan kemampuan gua.. walaupun dengan begitu orang akan menganggap gua kurang mampu atau malah bodoh.. tapi dengan itu juga gua tidak akan dibohongi.. karena gua tau mana yg benar & mana yg salah.. atau malah gua bisa dapet banyak ilmu tambahan..

"Setiap orang punya cara tersendiri untuk memperlihatkan kepintarannya"..

Jadi inget ilmu padi.. semakin berisi semakin merunduk..

Jumat, 08 Januari 2010

Maaf, saya agak sulit bicara bahasa Indonesia ...

Kamis, 22 Oktober 2009 | 01:27 WIB

Maaf, saya agak sulit bicara bahasa Indonesia …

"Aunt Nina, I want to cut my hair, tapi mom bisa very very angry cause she likes my hair panjang".

Terselipnya kata-kata bahasa Inggris di dalam percakapan bahasa Indonesia di kalangan anak-anak kini bisa kita dengar dimana-mana.

Hal ini bisa dipahami karena jumlah sekolah Internasional di Indonesia terutama di Jakarta kini semakin banyak. Sekolah-sekolah tersebut menggunakan kurikulum dari luar negeri dan bahasa pengantar sehari-hari yang dipakai adalah bahasa asing. Dan sekolah-sekolah tersebut bukan lagi monopoli orang asing. Orang tua pun kini merasa bangga jika anak-anak mereka sudah mulai menyelipkan kata-kata bahasa Inggris di dalam percakapannya sejak dini.

Menyelipkan kata-kata bahasa Inggris ke dalam percakapan bahasa Indonesia ternyata tidak hanya dilakukan oleh anak-anak. Kalau kita menonton acara wawancara resmi, dialog atau perdebatan politik dan ekonomi di televisi jarang sekali kita temukan satu wawancara atau dialog dimana baik yang melakukan wawancara maupun yang diwawancarai menggunakan seratus persen bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Mereka tampak kewalahan untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia sepenuhnya. Selalu saja ada kata-kata, istilah-istilah, dan ungkapan-ungkapan asing yang diselipkan di sela-sela bahasa Indonesia. Demikian juga jika kita membaca laporan wawancara di koran atau majalah. Selalu ada kata-kata yang ditulis miring dalam kutipan wawancara yang menunjukkan bahwa kata yang ducapkan tersebut merupakan ungkapan asing.

Apakah masyarakat Indonesia sudah menjadi masyarakat dwibahasawan? Seperti di Belgia yang menetapkan bahasa Belanda dan Perancis sebagai bahasa negara, Finlandia dengan bahasa Find dan bahasa Swedia? Atau di Montreal Kanada, dimana bahasa Inggris dan Perancis dipakai secara bergantian oleh warganya.? Rasanya tidak tepat menyimpulkan demikian. Karena yang terjadi saat ini adalah situasi dimana banyak masyarakat yang berbahasa Inggris tidak, berbahasa Indonesia pun tidak.

Fenomena lain yang terjadi adalah kenyataan bahwa para lulusan luar negeri umumnya lebih fasih berbahasa asing dibandingkan dengan bahasa Indonesia. Kini timbul gejala di masyarakat dimana mereka merasa malu apabila tidak menguasai bahasa asing (Inggris) tetapi tidak pernah merasa malu dan kurang apabila tidak menguasai bahasa Indonesia.

Banyak yang merasa dirinya lebih pandai daripada yang lain karena telah menguasai bahasa asing (Inggris) dengan fasih, walaupun penguasaan bahasa Indonesianya kurang sempurna. Tidak sedikit yang menganggap remeh bahasa Indonesia dan tidak mau mempelajarinya karena merasa dirinya telah menguasai bahasa Indonesia dengan baik atau menganggap bahasa Indonesia tidak penting.

Bahasa Indonesia memang bukan bahasa ibu karena kita semua baru mempelajari bahasa Indonesia yang baik dan benar setelah kita masuk sekolah. Bahasa ibu kita adalah bahasa informal daerah tempat kita dibesarkan. Dalam komunikasi sehari-hari masyarakat Indonesia tidak menggunakan bahasa Indonesia formal tetapi bahasa ibu, bahasa informal yang tidak memiliki aturan yang baku. Setiap orang bebas mencampur adukkan istilah. Dalam bahasa informal hal ini sah-sah saja.

Sejak dulu masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang diglosik. Yaitu suatu keadaan dimana masyarakat menguasai dua bahasa atau lebih yang digunakan secara bergantian, namun masing-masing bahasa mempunyai peranannya masing-masing. Terdapat perbedaan yang sangat tajam di masyarakat antara bahasa formal dengan bahasa informal. Kedua jenis bahasa tersebut digunakan pada situasi dan konteks yang juga berbeda.

Menurut peta bahasa yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa Depdiknas saat ini Indonesia memiliki lebih dari 746 bahasa daerah dan 17.508 pulau. Sebuah kekayaaan yang tidak ternilai. Namun kekayaan bahasa yang kita miliki ini juga berpotensi menjadi sebuah kelemahan yang dapat dengan mudah dimanfaatkan untuk memecah belah bangsa.

Di awal abad ke20 para pejuang kemerdekaan Indonesia sudah menyadari pentingnya kebutuhan satu bahasa nasional yang mampu menyatukan seluruh rakyat Indonesia jika negera ini ingin merdeka dari penjajahan Belanda. Dengan Sumpah Pemuda, pada tanggal 28 Oktober 1928, sekelompok pemuda tersebut bersumpah satu tumpah darah, satu bangsa dan satu bahasa, yaitu Indonesia.

Sebagai bahasa yang dipilih menjadi bahasa nasional, bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan yang lahir karena suatu keputusan dan perencanaan. Ketika kemerdekaan Republik Indonesia diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945, Bahasa Indonesia pun resmi menjadi bahasa nasional dalam arti yang sesungguhnya.

Bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa pemerintahan dan administrasi yang digunakan di dalam situasi formal seperti pidato, penulisan serta bahasa di media masa resmi seperti televisi, radio, koran dan majalah serta buku-buku. Bahasa formal juga bahasa yang digunakan sebagai media komunikasi di sekolah-sekolah dan universitas-universitas serta acara-acara resmi lainnya. Teks proklamasi kemerdekaan adalah dokumen resmi pemerintah pertama yang ditulis dalam bahasa Indonesia.

Dalam proses perkembangannya bahasa Indonesia berkembang menjadi tombak kekuatan yang menyatukan bangsa Indonesia. Sebuah proses yang menakjubkan dan dikagumi oleh banyak ahli bahasa di seluruh dunia. Bayangkan, rakyat suatu negara kepulauan yang terdiri dari berpuluh puluh suku dengan bahasanya yang berbeda beda berhasil digiring untuk menerima satu bahasa di luar bahasa daerah mereka sebagai bahasa persatuan bangsa, bahasa nasional. Tanpa konflik dan tanpa perdebatan.

Sejak jaman sebelum kemerdekaan, berbagai kegiatan yang berkaitan dengan bahasa persatuan Indonesia telah dilakukan. Mulai dari perubahan ejaan, pengembangan peristilahan, penyusunan kamus besar bahasa Indonesia, hingga perumusan tata bahasa agar dicapai suatu bahasa yang standar yang dapat menjadi patokan seluruh jajaran masyarakat. Penelitian bahasa dan seminar serta kampanye penggunaaan bahasa Indonesia yang baik dan benar lewat pers, media televisi dan sekolah-sekolah terus dilakukan.

Semua pihak, setiap bidang dan setiap profesi bahu membahu memelihara bahasa Indonesia. Simak saja lagu anak-anak ‘Naik Delman’ yang diciptakan pak Kasur sebelum pembukaan Ganefo tahun 1962.

Pada hari Minggu kuturut ayah ke kota. Naik delman istimewa kududuk di muka Duduk di samping pak kusir yang sedang bekerja Mengendali kuda supaya baik jalannya Tuk tik tak tik tuk tik tak tik tuk tik tak tik tuk Tuk tik tak tik tuk tik tak … suara sepatu kuda.

Bagi generasi yang lahir di tahun 50-an hingga 70-an, lagu ciptaan pak Kasur di atas adalah lagu yang sangat kental dengan masa kanak-kanak. Hingga kini, dimana sebagian besar sudah memasuki masa pensiun, lagu itu tidak pernah luntur dari ingatan. Perhatikanlah struktur dan tata bahasa serta kosa kata yang digunaan dalam syair lagu tersebut. Tanpa disadari sejak kecil generasi ini sudah diajarkan bagaimana berbahasa Indonesia yang baik dan benar lewat lagu.

Di dalam pidato peringatan kemerdekaan Republik Indonesia di Istana Negara pada tahun 1972 almarhum Presiden Soeharto bahkan dengan tegas menyatakan bahwa pembentukan bahasa Indonesia adalah tanggung jawab nasional karena bahasa yang baik berkaitan erat dengan pembangunan bangsa.

Himbauan ini diulang setiap tahun di dalam setiap pidato peringatan kemerdekaan Republik Indonesia di Istana Negara. Pemerintahan di era Suharto memang sangat gencar mengampanyekan penggunaan Bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Media masa seperti televisi, radio, majalah dan koran diwajibkan menjadi acuan masyarakat dalam berbahasa. Gedung - gedung dan perkantoran di Jakarta yang masih memakai nama yang berbau asing mendapat surat edaran keras dari pemerintah DKI Jaya agar segera membuang istilah yang tidak Indonesia itu. Dulu, seminggu sekali ada acara Pembinaan Bahasa Indonesia di televisi.

Kini keadaannya sudah berbeda. Jika kita mengitari pusat perbelanjaan atau deretan pertokoan Anda bisa lupa bahwa kita ada di Indonesia. Karena hampir tidak ada lagi gedung-gedung, toko-toko atau restoran-restoran yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai nama badan usahanya. Media cetak maupun eletronik semakin banyak yang berusaha meng-Inggris-kan rubrik-rubriknya.

Semakin banyak pula perusahaan yang mulai beriklan dengan bahasa Inggris. Seperti ada konsep pemasaran yang tidak tertulis bahwa pasar akan lebih tertarik jika nama toko, tempat atau barang menggunakan bahasa Inggris karena terlihat lebih keren. Era reformasi dan demokrasi seperti membebaskan semuanya. Tidak ada lagi anjuran penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Seiring dengan terjadinya pergeseran ranah penggunaan bahasa Indonesia oleh bahasa Inggris, bahasa informal pun mulai mendominasi media cetak dan eletronik. Pengguna bahasa Indonesia yang baik dan benar terasa semakin langka.

Jadi, apakah yang terjadi dengan bahasa nasional kita? Kemana perginya bahasa Indonesia? Sudah begitu asingkah bahasa Indonesia di negeri sendiri? Betulkah bahwa bahasa Indonesia itu miskin kosa kata sehingga lebih mudah mengungkap sesuatu dalam bahasa Inggris dibandingkan dengan bahasa Indonesia? Padahal KBBI revisi ke-4 yang diluncurkan 2008 pada Kongres Bahasa Ke-9 pada 28 Oktober 2008 yang lalu memuat sekitar 100.000 lema (entry) atau bertambah 22.000 lema hasil serapan dari bahasa daerah dan bahasa asing.

Belum ada yang melakukan penelitian mengenai berapa persenkah rakyat Indonesia yang kini mampu berbicara dan menulis dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar. Namun seorang kawan pengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia pernah menyatakan keprihatiannya ketika dia harus lebih banyak menghabiskan waktunya untuk membetulkan bahasa tulisan mahasiswa si pembuat skripsi daripada isi tulisan itu sendiri.

Indonesia sebagai sebuah kesatuan fisik, semangat dan jiwa bukanlah cita-cita yang terbentuk begitu saja. Pentingnya mempersatukan nusantara membuat Gajah Mada pernah bersumpah lewat Sumpah Palapa: "Jika telah mengalahkan Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa. Jika mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa".

Sudah tidak ada lagikah kebanggaan kita pada bahasa Indonesia yang telah menyatukan kita semua? Sadarkah kita bahwa bahasa Indonesia juga adalah jati diri bangsa? Sudah lupakah kita pada Sumpah Palapa dan Sumpah Pemuda?

Kalau kita mau merenung sejenak, bahasa Indonesia itu memiliki kekuatan luar biasa yang mampu melampaui kekuatan militer. Dengan bahasa Indonesia yang mahir bung Tomo mampu membakar semangat para pejuang nasionalisme pada tanggal 10 Nopember 1945. Bung Karno, yang menguasai sedikitnya tujuh bahasa asing dengan baik, mampu menyuarakan seruan hatinya dengan bahasa Indonesia lewat pidato-pidatonya yang membahana dan memukau. Amunisi kata-katanya begitu kaya dan dalam. Kemampuannya membangun struktur kalimat dalam setiap pidatonya mampu membuat siapa pun yang mendengarnya merasakan tumbuhnya tunas semangat baru dalam hidupnya.

Di era pembangunan kita semua pun telah menjadi saksi bahwa bahasa mampu meredam gejolak ekonomi, mampu mengurangi sensitifitas sosial dan politik bahkan membalikkan sesuatu yang berkesan negatif menjadi positif.

Kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak popular dapat kita hindari dengan menghaluskan ungkapan. Tentu kita semua masih ingat istilah "kenaikan harga" yang dihaluskan menjadi "penyesuaian harga" atau "gelandangan" yang memberikan konotasi merendahkan menjadi "tunawisma". Padahal kita semua tahu bahwa harga barang tetap naik walaupun namanya diganti menjadi "penyesuaian harga", dan seorang gelandangan tidak menjadi lebih kaya walaupun istilahnya diganti menjadi "tunawisma". Mengapa pemerintah kini malah mengeluarkan kebijakan dalam bahasa Inggris seperti ‘sunset policy’?

Lihat saja Amerika. Dengan kemampuannya berbahasa negara adidaya tersebut mampu mengarahkan kepentingan politiknya. Kejahatan perang disebut “war crimes”, tetapi kata tersebut pantang diucap kalau Israel yang melakukannya sehingga istilahnya berubah mejadi “violation of humanitarian law”. Pembunuhan warga sipil oleh tentara Amerika disebut “collateral damage” dan bukan “civil casualties” meskipun pembunuhan tersebut dilakukan dengan sengaja. Kesalahan tentara Amerika yang menembak kawan sendiri disebut "friendly fire" padahal yang sebenarnya terjadi adalah "negligent discharge".

Bahasa Indonesia juga adalah bahasa yang mampu menjembatani jurang komunikasi antar suku yang memiliki bahasa daerah yang berbeda-beda. Sarana utama yang mewujudkan dan memelihara Bhinneka Tunggal Ika. Pemerintah tidak perlu menterjemahkan setiap kebijakan menjadi bahasa daerah yang berlain-lainan. Para peneliti, wisatawan, politisi, pengusaha dan pihak-pihak yang berkepentingan lainnya tidak perlu mempelajari bahasa daerah jika mereka mengunjungi daerah-daerah di seluruh pelosok Indonesia.

Goenawan Mohamad pernah menulis, “Jika kita bepergian ke pelbagai pelosok Indonesia, satu hal menolong kita: bahasa Indonesia. Ini saya alami baru-baru ini. Seandainya saya di India, saya harus memakai sejumlah bahasa lokal. Seandainya saya di Amerika, saya harus mengerti bahasa Spanyol selain bahasa Inggris.”

Jika kita tidak ingin Bahasa Indonesia menjadi bahasa asing di negeri kita sendiri maka keberadaannya senantiasa harus dipelihara, perkembangannya harus dicermati. Pengubahsuaian kosa kata dan struktur bahasa asing yang terserap ke dalam penggunaan sehari hari harus terus dilakukan. Namun Lembaga Bahasa, para ahli bahasa dan pencinta bahasa tidak bisa bergerak sendirian dan tidak akan mampu berjuang sendirian. Memelihara bahasa nasional memerlukan keterlibatan dan keputusan pemerintah dan pemimpin negara.

Bahasa Indonesia adalah anugerah Tuhan yang pantang kita sia-siakan. Bahasa persatuan yang dirumuskan dengan teliti lewat perjuangan darah, keringat, dan nyawa delapan puluh satu tahun yang lalu adalah sebuah keajaiban yang mampu menyatukan bangsa tanpa kekuatan politik dan militer yang tidak mampu dilakukan oleh negara mana pun. Tengok saja Negara tetangga kita Malaysia, Singapura, dan Filipina. Bahasa Melayu dan Tagalog tidak mampu mencapai status sebagai bahasa nasional seperti Bahasa Indonesia di Indonesia karena kuatnya pengaruh bahasa Inggris. Pada sensus tahun 2001, pemerintah India harus mencetak formulir ke dalam 17 bahasa lokal.

Layakkah jika sosok-sosok yang duduk di pemerintahan tidak mampu berbahasa Indonesia? Relakah kita jika kedudukan bahasa Indonesia tergeser oleh bahasa asing seperti yang terjadi di Negara tetangga? Haruskah kita menunggu sampai UNESCO memasukkan bahasa Indonesia ke dalam daftar bahasa yang diancam kepunahan? Pantaskah kita tersinggung jika suatu hari negara tetangga kita mengakui bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional mereka jika kita sendiri tidak memeliharanya?

Mari kita kembalikan lagi semangat Sumpah Pemuda di antara kita sebelum anak cucu kita berkata dengan lafal dan aksen asing,”Maaf, saya agak sulit bicara bahasa Indonesia … “.

--------------

Wieke Gur. Pecinta Bahasa Indonesia Penulis Lirik dan Pencipta Lagu

diambil dari http://oase.kompas.com/read/2009/10/22/01270574/maaf.saya.agak.sulit.bicara.bahasa.indonesia....

Sharing Your Bra Color Is the New 25 Things on Facebook



Facebook is quite the colorful place today. An odd meme — bra color status updates — has made its way around the network, but no one really knows how or why the what-color-is-your-bra meme took off.

In case you haven’t seen it it, women (and some men) are posting single word updates with the color of their bra, hence the barrage of “black,” “red,” and “nothing” updates from your female friends. But who’s actually behind the bra color campaign, and what they’re trying to accomplish, remains a mystery. Speculation, however, is running rampant.

A Detroit blog suggests that the color update craze was started by women in Detroit who are trying to raise awareness around Breast Cancer (though October is Breast Cancer Awareness Month). Another blog backs-up that notion and includes the following Facebook message:

“Some fun is going on…. just write the color of your bra in your status. Just the color, nothing else. It will be neat to see if this will spread the wings of breast cancer awareness. It will be fun to see how long it takes before people wonder why all the girls have a color in their status… Haha .”

We’ve yet to dig up the real source of the trend, so if you have any information on how this got started and who’s behind it, share it in the comments.




this page taken from..
http://mashable.com/2010/01/07/bra-color-facebook-status/